Sweet words are easy to say, Sweet things are easy 2 buy, But sweet people are difficult to find. Life ends when U stop dreaming, Hope ends when U stop believing, Love ends when U stop caring, Friendship ends when U stop sharing.

Friday, February 09, 2007

LiNa

To:
LiNa
Date: Friday, 9 February, 2007 8:52 AM
Subject: Re: Menikah, Mengapa Takut?

Message:
Iya sih. Meskipun anti dah nulis klo Allah SWT akan mencukupkan rizki dalam pernikahan. Tapi bagi yang belum punya daya ekonomi mandiri tentunya akan serba takut yang potensial menekan daya bathinnya. Padahal yang kudu diurus juga keharusan nafkah lahir bathin bukan? Tapi klo aja sudah jumpa sama 'bidadari', kenapa juga kudu takut gak bisa ngempain bini. Kecuali klo ukhti Lina gak makan nasi, tapi 3x sehari sebutir berlian baru boleh takut nikah. Maaf, ini bukan rayuan gombal lho.
Hehehe, tapi ana juga belum berani tuh. Padahal dah 2 tahun menyendiri, takut aja terpeleset masuk ke kubangan celeng. Tapi buat nikah juga gak bisa asal ada lubang bukan? Kudu a bit full moody lho.

LiNa wrote:
> Nah itu dia, salah satu faktor yang bikin takut, mungkin faktor takut ga bisa ngempanin bini seperti yang antum bilang :-D
>

Jacqueline

To:
jacqueline
Date: Friday, 9 February, 2007 8:37 AM
Subject: Mabuhay.

Message:
Magandang omaga po. Hi Jacqueline, what a lovely lady you're.
Nice to see you. From Indonesia with love, fahmi.

Thursday, February 08, 2007

LiNa

To:
LiNa
Date: Thursday, 8 February, 2007 7:57 PM
Subject: Re: Menikah, Mengapa Takut?

Message:
Kayaknya bukannya takut deh ukhti Lina. Cuma hati bimbang aja. Takut gak bisa ngempanin bini. Padahal klo dah nikah baru deh pada nyesel, tahu enak banget begini kenapa gak sejak bayi aja nikah nya. Apalagi aku, buat apa juga coba 2 tahun jadi duda mana kudu nahan2 nikah. Padahal dah kebayang aja yang namanya surga dunia.

LiNa wrote:
> Oleh: DR. Amir Faishol Fath
> Kita hidup di zaman yang mengajarkan
> pergaulan bebas, menonjolkan aurat,
> dan mempertontonkan perzinaan. Bila
> mereka berani kepada Allah dengan
> melakukan tindakan yang tidak hanya
> merusak diri, melainkan juga
> menghancurkan institusi rumah tangga,
> mengapa kita takut untuk mentaati
> Allah dengan membangun rumah tangga
> yang kokoh? Bila kita beralasan ada
> resiko yang harus dipikul setelah
> menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya
> lebih besar. Bukankankah melajang ada
> juga resikonya?
> Hidup, bagaimanapun adalah sebuah
> resiko. Mati pun resiko. Yang tidak
> ada resikonya adalah bahwa kita tidak
> dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya #8211; maksiat maupun taat#8211;, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.
> Saya sering ngobrol, dengan kawaan-
> kawan yang masih melajang, padahal ia
> mampu untuk menikah. Setelah saya
> kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk
> mengumpulkan bekal terlebih dahulu,
> ada yang beralasan untuk mencari ilmu
> dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini
> kita akan mengulas mengenai mengapa
> kita harus segera menikah? Sekaligus
> di celah pembahasan saya akan menjawab
> atas beberapa alasan yang pernah
> mereka kemukakan untuk membenarkan
> sikap .
> Menikah itu Fitrah
> Allah swt., menegakkan sunnahNya di
> alam ini atas dasar berpasang-
> pasangan. Wa min kulli syai#8217;in
> khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu
> kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-
> Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam,
> ada laki ada perempuan. Masing-masing
> memerankan fungsinya sesuai dengan
> tujuan utama yang telah Allah
> rencanakan. Tidak ada dari sunnah
> tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan
> di manapun berada. Walan tajida
> lisunnatillah tabdilla, dan kamu
> sekali-kali tidak akan mendapati
> perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab:
> 62). Walan tajida lisunnatillah
> tahwiila, dan kamu tidak akan
> mendapati perubahan bagi ketetapan
> kami itu (Al-Isra: 77).
> Dengan melanggar sunnah itu berarti
> kita telah meletakkan diri pada posisi
> bahaya. Karena tidak mungkin Allah
> meletakkan sebuah sunnah tanpa ada
> kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem
> lainnya yang bekerja secara sempurna
> secara universal.
> Manusia dengan kecanggihan ilmu dan
> peradabannya yang dicapai, tidak akan
> pernah mampu menggantikan sunnah ini
> dengan cara lain yang dikarang otaknya
> sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt.
> telah membekali masing-masing manusia
> dengan fitrah yang sejalan dengan
> sunnah tersebut. Melanggar sunnah
> artinya menentang fitrahnya sendiri.
> Bila sikap menentang fitrah ini terus-
> menerus dilakukan, maka yang akan
> menanggung resikonya adalah manusia
> itu sendiri. Secara kasat mata, di
> antara yang paling tampak dari rahasia
> sunnah berpasang-pasangan ini adalah
> untuk menjaga keberlangsungan hidup
> manusia dari masa ke masa sampai titik
> waktu yang telah Allah tentukan. Bila
> institusi pernikahan dihilangkan, bisa
> dipastikan bahwa mansuia telah musnah
> sejak ratusan abad yang silam.
Mungkin ada yang nyeletuk, tapikan
kalau hanya untuk mempertahankan
keturunan tidak mesti dengan cara
menikah. Dengan pergaulan bebas pun
bisa. Anda bisa berkata demikian.
Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang
juga Allah berikan kepada masing-
masing manusia, yaitu: cinta dan kasih
sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi
fitrah ini tidak akan pernah mungkin
tercapai dengan hanya semata pergaulan
bebas. Melainkan harus diikat dengan
tali yang Allah ajarkan, yaitu
pernikahan. Karena itulah Allah
memerintahkan agar kita menikah. Sebab
itulah yang paling tepat menurut Allah
dalam memenuhi tuntutan fitrah
tersebut. Tentu tidak ada bimbingan
yang lebih sempurna dan membahagiakan
lebih dari daripada bimbingan Allah
swt.
Allah berfirman fankihuu, dengan kata
perintah. Ini menunjukan pentingnya
hakikat pernikahan bagi manusia. Jika
membahayakan, tidak mungkin Allah
perintahkan. Malah yang Allah larang
adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina,
dan janganlah kamu mendekati zina (Al-
Israa: 32). Ini menegaskan bahwa
setiap yang mendekatkan kepada
perzinaan –apalagi melakukannya-
adalah haram. Mengapa? Sebab Allah
menginginkan agar manusia hidup
bahagia, aman, dan sentosa sesuai
dengan fitrahnya.
Mendekati zina dengan cara apapun,
adalah proses penggerogotan terhadap
fitrah. Dan sudah terbukti bahwa
pergaulan bebas telah melahirkan
banyak bencana. Tidak saja pada
hancurnya harga diri sebagai manusia,
melainkan juga hancurnya kemanusiaan
itu sendiri. Tidak jarang kasus
seorang ibu yang membuang janinnya ke
selokan, ke tong sampah, bahkan dengan
sengaja membunuhnya, hanya karena
merasa malu menggendong anaknya dari
hasil zina.
Perhatikan bagaimanan akibat yang
harus diterima ketika institusi
pernikahan sebagai fitrah diabaikan.
Bisa dibayangkan apa akibat yang akan
terjadi jika semua manusia melakukan
cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh
dalam bukunya liman yuridduz zawaj
mengatakan, “Orang yang hidup melajang
biasanya sering tidak normal: baik
cara berpikir, impian, dan sikapnya.
Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih
dari mereka yang telah menikah.”
Menikah Itu Ibadah
Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah swt.
menyebutkan pentingnya mempertahankan
hakikat pernikahan dengan sederet
bukti-bukti kekuasaanNya di alam
semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan
menikah kita telah menegakkan satu
sisi dari bukti kekusaan Allah swt.
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah
saw. lebih menguatkan makna pernikahan
sebagai ibadah: “Bila seorang menikah
berarti ia telah melengkapi separuh
dari agamanya, maka hendaknya ia
bertakwa kepada Allah pada paruh yang
tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)
Belum lagi dari sisi ibadah sosial.
Dimana sebelum menikah kita lebih
sibuk dengan dirinya, tapi setelah
menikah kita bisa saling melengkapi,
mendidik istri dan anak. Semua itu
merupakan lapangan pahala yang tak
terhingga. Bahkan dengan menikah,
seseorang akan lebih terjaga moralnya
dari hal-hal yang mendekati perzinaan.
Alquran menyebut orang yang telah
menikah dengan istilah muhshan atau
muhshanah (orang yang terbentengi).
Istilah ini sangat kuat dan
menggambarkan bahwa kepribadian orang
yang telah menikah lebih terjaga dari
dosa daripada mereka yang belum
menikah.
Bila ternyata pernikahan menunjukkan
bukti kekuasan Allah, membantu
tercapainya sifat takwa. dan menjaga
diri dari tindakan amoral, maka tidak
bisa dipungkiri bahwa pernikahan
merupakan salah satu ibadah yang tidak
kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah
lainnya. Jika ternyata Anda setiap
hari bisa menegakkan ibadah shalat,
dengan tenang tanpa merasa terbebani,
mengapa Anda merasa berat dan selalu
menunda untuk menegakkan ibadah
pernikahan, wong ini ibadah dan itupun
juga ibadah.
Pernikahan dan Penghasilan
Seringkali saya mendapatkan seorang
jejaka yang sudah tiba waktu menikah,
jika ditanya mengapa tidak menikah, ia
menjawab belum mempunyai penghasilan
yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah
bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor
dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang
mempunyai mobil. Setiap hari ia harus
memengeluarkan biaya yang cukup besar
dari penggunakan HP, motor, dan mobil
tersebut. Bila setiap orang berpikir
demikian apa yang akan terjadi pada
kehidupan manusia?
Saya belum pernah menemukan sebuah
riwayat yang menyebutkan bahwa
Rasulullah saw. melarang seorang
sahabatnya yang ingin menikah karena
tidak punya penghasilan. Bahkan dalam
beberapa riwayat yang pernah saya
baca, Rasulullah saw. bila didatangi
seorang sahabatnya yang ingin menikah,
ia tidak menanyakan berapa penghasilan
yang diperoleh perbulan, melainkan apa
yang ia punya untuk dijadikan mahar.
Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika
tidak, mungkin ada pakaiannya yang
lebih? Jika tidak, malah ada yang
hanya diajarkan agar membayar maharnya
dengan menghafal sebagian surat
Alquran.
Apa yang tergambar dari kenyatan
tersebut adalah bahwa Rasulullah saw.
tidak ingin menjadikan pernikahan
sebagai masalah, melainkan sebagai
pemecah persoalan. Bahwa pernikahan
bukan sebuah beban, melainkan tuntutan
fitrah yang harus dipenuhi. Seperti
kebutuhan Anda terhadap makan, manusia
juga butuh untuk menikah. Memang ada
sebagian ulama yang tidak menikah
sampai akhir hayatnya seperti yang
terkumpul dalam buku Al ulamaul uzzab
alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj.
Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua
orang. Itu adalah perkecualian. Sebab,
Rasulullah saw. pernah melarang
seorang sahabatanya yang ingin hanya
beribadah tanpa menikah, lalu
menegaskan bahwa ia juga beribadah
tetapi ia juga menikah. Di sini jelas
sekali bagaimana Rasulullah saw.
selalu menuntun kita agar berjalan
dengan fitrah yang telah Allah
bekalkan tanpa merasakan beban
sedikitpun.
Memang masalah penghasilan hampir
selalu menghantui setiap para jejaka
muda maupun tua dalam memasuki wilayah
pernikahan. Sebab yang terbayang bagi
mereka ketika menikah adalah keharusan
membangun rumah, memiliki kendaraan,
mendidik anak, dan seterusnya di mana
itu semua menuntut biaya yang tidak
sedikit. Tetapi kenyataannya telah
terbukti dalam sejarah hidup manusia
sejak ratusan tahun yang lalu bahwa
banyak dari mereka yang menikah sambil
mencari nafkah. Artinya, tidak dengan
memapankan diri secara ekonomi
terlebih dahulu. Dan ternyata mereka
bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan
demikian kemapanan ekonomi –sekalipun
itu secara pertimbangan akal lebih
menjamin kenyamanan hidup– bukan
persyaratan utama bagi sesorang untuk
memasuki dunia pernikahan.
Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki
yang Allah sediakan setelah
pernikahan. Artinya, untuk meraih
jatah rezeki tersebut pintu masuknya
menikah dulu. Jika tidak, rezeki itu
tidak akan cair. Inilah pengertian
ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu
min fadhlihi wallahu waasi’un aliim,
jika mereka miskin Allah akan mampukan
mereka dengan kurniaNya. Dan Allah
Maha luas lagi Maha mengetahui (An-
Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung
dari Allah, agar masalah penghasilan
tidak dikaitkan dengan pernikahan.
Artinya, masalah rizki satu hal dan
pernikahan hal yang lain lagi.
Abu Bakar Ash-Shidiq ketika
menafsirkan ayat itu
berkata, “Taatilah Allah dengan
menikah. Allah akan memenuhi janjinya
dengan memberimu kekayaan yang cukup.”
Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji
Allah untuk memberikan kekayaan bagi
mereka yang menikah untuk mencapai
ridha Allah, dan menjaga diri dari
kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi,
Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal.
160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah saw. pernah mendorong
seorang sahabatnya dengan
berkata, “Menikahlah dengan penuh
keyakinan kepada Allah dan harapan
akan ridhaNya, Allah pasti akan
membantu dan memberkahi.” (HR.
Thabarni). Dalam hadits lain
disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah
bantu, di antaranya: “Orang menikah
untuk menjaga diri dari kemaksiatan.”
(HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam Thawus pernah berkata kepada
Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah
segera, atau saya akan mengulang
perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu
Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu
dari pernikahaan kecuali kelemahanmu
atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar
A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz
Dzahaby). Ini semua secara makna
menguatkan pengertian ayat di atas. Di
mana Allah tidak akan pernah
membiarkan hambaNya yang bertakwa
kepada Allah dengan membangun
pernikahan.
Persoalannya sekarangan, mengapa
banyak orang berkeluarga yang hidup
melarat? Kenyataan ini mungkin membuat
banyak jejaka berpikir dua kali untuk
menikah. Dalam masalah nasib kita
tidak bisa mengeneralisir apa yang
terjadi pada sebagian orang. Sebab,
masing-masing ada garis nasibnya.
Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa
bertanya: mengapa Anda bertanya
demikian? Bagaimana kalau Anda melihat
fakta yang lain lagi bahwa banyak
orang yang tadinya melarat dan
ternyata setelah menikah hidupnya
lebih makmur? Dari sini bahwa
pernikahan bukan hambatan, dan
kemapanan penghasilan bukan sebuah
persyaratan utama.
Yang paling penting adalah kesiapan
mental dan kesungguhan untuk memikul
tanggung jawab tersebut secara
maksimal. Saya yakin bahwa setiap
perbuatan ada tanggung jawabnya.
Berzina pun bukan berarti setelah itu
selesai dan bebas tanggungjawab.
Melainkan setelah itu ia harus memikul
beban berat akibat kemaksiatan dan
perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh
anak zina, ia harus menanggung dosa
zina. Keduanya tanggung jawab yang
kalau ditimbang-timbang, tidak kalah
beratnya dengan tanggung jawab
pernikahan.
Bahkan tanggung jawab menikah jauh
lebih ringan, karena masing-masing
dari suami istri saling melengkapi dan
saling menopang. Ditambah lagi bahwa
masing-masing ada jatah rezekinya yang
Allah sediakan. Tidak jarang seorang
suami yang bisa keluar dari kesulitan
ekonomi karena jatah rezeki seorang
istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga
yang jatah rezekinya ditopang oleh
anaknya. Perhatikan bagaimana
keberkahan pernikahan yang tidak hanya
saling menopang dalam mentaati Allah,
melainkan juga dalam sisi ekonomi.
Pernikahan dan Menuntut Ilmu
Seorang kawan pernah mengatakan, ia
ingin mencari ilmu terlebih dahulu,
baru setelah itu menikah. Anehnya, ia
tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir
semua universitas ia cicipi. Usianya
sudah begitu lanjut. Bila ditanya
kapan menikah, ia menjawab: saya belum
selesai mencari ilmu.
Ada sebuah pepatah diucapkan para
ulama dalam hal mencari ilmu: lau
anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa
ba’dhiha, seandainya kau infakkan
semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau
tidak akan mendapatkannya kecuali
hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat
luas. Seumur hidup kita tidak akan
pernah mampu menelusuri semua ilmu.
Sementara menikah adalah tuntutan
fitrah. Karenanya, tidak ada aturan
dalam Islam agar kita mencari ilmu
dulu baru setelah itu menikah.
Banyak para ulama yang menikah juga
mencari ilmu. Benar, hubungan mencari
ilmu di sini sangat berkait erat
dengan penghasilan. Tetapi banyak
sarjana yang telah menyelesaikan
program studinya bahkan ada yang sudah
doktor atau profesor, tetapi masih
juga pengangguran dan belum
mendapatkan pekerjaan. Artinya,
menyelesaikan periode studi juga bukan
jaminan untuk mendapatkan penghasilan.
Sementara pernikahan selalu mendesak
tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran
maupun Al sunnah, tidak ada tuntunan
keharusan menunda pernikahan demi
mencari ilmu atau mencari harta.
Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa
panggilan untuk segera menikah,
terlepas apakah kita sedang mencari
ilmu atau belum mempunyai penghasilan.
Berbagai pengalaman membuktikan bahwa
menikah tidak menghalangi seorang
dalam mencari ilmu. Banyak sarjana
yang berhasil dalam mencari ilmu
sambil menikah. Begitu juga banyak
yang gagal. Artinya, semua itu
tergantung kemauan orangnya. Bila ia
menikah dan tetap berkemauan tinggi
untuk mencari ilmu, ia akan berhasil.
Sebaliknya, jika setelah menikah
kemauannya mencari ilmu melemah, ia
gagal. Pada intinya, pernikahan adalah
bagian dari kehidupan yang harus juga
mendapatkan porsinya. Perjuangan
seseorang akan lebih bermakna ketika
ia berjuang juga menegakkan rumah
tungga yang Islami.
Rasulullah saw. telah memberikan
contoh yang sangat mengagumkan dalam
masalah pernikahan. Beliau menikah
dengan sembilan istri. Padahal beliau
secara ekonmi bukan seorang raja atau
konglomerat. Tetapi semua itu
Rasulullah jalani dengan tenang dan
tidak membuat tugas-tugas kerasulannya
terbengkalai. Suatu indikasi bahwa
pernikahan bukan hal yang harus
dipermasalahkan, melainkan harus
dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas
sebenarnya tidak perlu didorong untuk
menikah, sebab Allah telah menciptakan
gelora fitrah yang luar biasa dalam
dirinya. Dan itu tidak bisa
dipungkiri. Masing-masing orang lebih
tahu dari orang lain mengenai gelora
ini. Dan ia sendiri yang menanggung
perih dan kegelisahan gelora ini jika
ia terus ditahan-tahan.
Untuk memenuhi tuntutan gelora itu,
tidak mesti harus selesai study dulu.
Itu bisa ia lakukan sambil berjalan.
Kalaupun Anda ingin mengambil langkah
seperti para ulama yang tidak menikah
(uzzab) demi ilmu, silahkan saja.
Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-
benar seperti para ulama itu? Jika
tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu
tidak maksimal, menikah juga tidak.
Bila para ulama uzzab karena saking
sibuknya dengan ilmu sampai tidak
sempat menikah, apakah Anda telah
mencapai kesibukan para ulama itu
sehingga Anda tidak ada waktu untuk
menikah? Dari sini jika benar-benar
ingin ikut jejak ulama uzzab, yang
diikuti jangan hanya tidak menikahnya,
melainkan tingkat pencapaian ilmunya
juga. Agar seimbang.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan bukan masalah.
Menikah adalah jenjang yang harus
dilalui dalam kondisi apapun dan
bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah
yang tidak mungkin diganti dengan cara
apapun. Bila Rasulullah menganjurkan
agar berpuasa, itu hanyalah solusi
sementara, ketika kondisi memang benar-
benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam
kondisi normal, sebenarnya tidak ada
alasan yang bisa dijadikan pijakan
untuk menunda pernikahan.
Agar pernikahan menjadi solusi
alternatif, mari kita pindah dari
pengertian “pernikahan sebagai beban”
ke “pernikahan sebagai ibadah”.
Seperti kita merasa senang menegakkan
shalat saat tiba waktunya dan
menjalankan puasa saat tiba Ramadhan,
kita juga seharusnya merasa senang
memasuki dunia pernikahan saat tiba
waktunya dengan tanpa beban. Apapun
kondisi ekonomi kita, bila keharusan
menikah telah tiba “jalani saja dengan
jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah
terbukti, orang-orang bisa menikah
sambil mencari nafkah. Allah tidak
akan pernah membiarkan hambaNya yang
berjuang di jalanNya untuk membangun
rumah tangga sejati.
Perhatikan mereka yang suka berbuat
maksiat atau berzina. Mereka begitu
berani mengerjakan itu semua padahal
perbuatan itu tidak hanya dibenci
banyak manusia, melainkan lebih dari
itu dibenci Allah. Bahkan Allah
mengancam mereka dengan siksaan yang
pedih. Melihat kenyataan ini,
seharusnya kita lebih berani berlomba
menegakkan pernikahan, untuk
mengimbangi mereka. Lebih-lebih Allah
menjanjikan kekayaan –bukan ancaman–
suatu jaminan yang luar biasa bagi
mereka yang bertakwa kepadaNya dengan
membangun pernikahan. Wallahu a’lam
bishshawab.